NPS Alert System merupakan program aplikasi yang berupa sistem informasi mengenai NPS. Program aplikasi ini dibuat dengan latar belakang mendesaknya kebutuhan informasi terhadap perkembangan NPS yang saat ini sudah menyebar di seluruh dunia. Perkembangan NPS tersebut selain bertambah jumlahnya tiap tahun juga makin beragam jenisnya, sementara itu belum ada wadah informasi yang mampu menginformasikan secara berkelanjutan perkembangan NPS ini. Keprihatinan terhadap efek yang ditimbulkan dari bahaya pengunaan NPS ini mendorong adanya dibentuknya informasi yang dapat menginformasikan efeknya kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam merumuskan suatu kebijakan dalam penanganan NPS ini.
Di sisi lain Badan Narkotika Nasional dalam hal ini Pusat Laboratorium Narkotika BNN bertugas untuk melaksanakan pelayanan pengujian sampel narkoba dan pembentukan sistem informasi NPS ini dibuat berdasarkan kebutuhan untuk meningkatkan pelayanan pengujian narkoba pada Pusat Laboratorium Narkotika BNN khususnya yaitu pelayanan pengujian melalui proses laboratorium dari aspek Bahan dan Sediaan.
Lingkup pembahasan yang ada pada NPS Alert System ini terdiri dari beberapa materi, diantaranya jenis-jenis NPS, perkembangannya di dunia dan di Indonesia, publikasi riset-riset tentang NPS di dunia dan tabulasi sampel NPS yang diperiksa di Pusat Laboratorium Narkotika BNN. Selain itu pada NPS Alert System juga memuat beberapa artikel dan berita terbaru tentang NPS. Artikel dan berita terbaru tentang NPS dapat di update oleh tim yang ditunjuk dan diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang berkepentingan dalam merumuskan kebijakan dalam penanganan NPS dan masyarakat yang membutuhkan informasi untuk menambah pengetahuan terkait NPS. Peraturan Menteri Kesehatan No. 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika dapat dilihat Disini
No | Nama Kimia (IUPAC) | Nama Umum | Jenis | Efek | Peraturan |
---|
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak bermunculan senyawa sintesis baru yang dapat memberikan efek menyenangkan, menyerupai senyawa narkotika dan belum terdaftar dalam Undang-Undang Narkotika maupun Psikotropika. Senyawa baru tersebut masuk dalam kategori NPS (New Pshycoactive Substances) dan saat ini tengah menjadi Global Warning. Banyak diantara senyawa tersebut merupakan analog dari senyawa Narkotika, hal ini bertujuan untuk memberikan efek yang sama atau bahkan lebih kuat daripada senyawa narkotika tersebut.
Sebagai contoh adalah golongan Aminoindanes. 2-Aminoindanes (2-AI) (gambar 2) merupakan analog dari Amfetamin (gambar 1) dan menghasilkan efek stimulan yang sama kuatnya dengan Amfetamina. Saat dikonsumsi, 2-AI melepaskan dopamine dan norepinefrin ke dalam otak dimana keduanya berperan untuk menghasilkan efek stimulan dan europhia. Salah satu pengguna 2-AI melaporkan bahwa setelah menggunakan obat tersebut terasa gelisah dalam waktu yang cukup lama. Pemakaian senyawa jenis ini biasanya melalui intranasal maupun rektal. Sampai saat ini (Juni 2016) belum ditemukan kasus penggunaan 2-AI di Indonesia.
Selain itu, ditemukan pula senyawa Aminoindanes lainnya yang disintesis melalui reaksi adiksi terhadap 2-AI dan telah dijual secara online antara lain 5,6-methylenedioxy-2-aminoindane (MDAI), 5,6-methylenedioxy-I-methyl-2-aminoindane (MDMAI), 5-iodo-2-aminoindane (5-IAI) dan 5-methoxy-6-methyl-2-aminoindane (MMAI). Senyawa-senyawa tersebut merupakan analog MDMA yang berhubungan dengan cincin indane dan mempunyai efek stimulan. Senyawa aminoindanes yang ditemukan dalam bentuk serbuk dan kristal tersebut dimungkinkan untuk dijadikan campuran senyawa stimulan lainnya seperti kokain, amfetamina, dan metamfetamina untuk meningkatkan efek stimulannya. Akan tetapi, berdasarkan uji preklinis (pada hewan) belum ditemukan adanya efek neurotoksik seperti pada MDMA. Penelitian lain terhadap senyawa 5-IAI menunjukkan bahwa efek neurotoksik yang ringan bahkan terjadi saat dikonsumsi pada dosis sangat tinggi.
Perlu diwaspadai pula senyawa Aminoindanes lainnya yang telah diperjualbelikan secara online yaitu N-ethyl-5-trifluoromethyl-2-aminoindane (ETAI) dan 5-trifluoromethyl-2-aminoindane (TAI) yang merupakan analog indane dari fenfluramine, senyawa yang sebelumnya dipasarkan sebagai penekan nafsu makan.
Synthetic cannabinoid, masih banyak orang yang belum tahu asal mula peredaran zat ini dan mengapa orang menggunakan zat ini. Namanya muncul belakangan ketika di publik ramai diberitakan bahwa synthetic cannabinoid ini terkandung di dalam tembakau merk Gorilla dan herbal blend dengan merk Good Shit yang populer sebelumnya. Berikut adalah gambar tembakau gorilla dan herbal blend good shit:
Pengakuan dari beberapa pemakainya bahwa penggunaan zat ini akan membuat pemakainya diam sesaat tak bergerak seperti kaku namun kemudian jika berlanjut akan membuat pemakainya mengalami halusinasi dan tremor atau gemetaran. Efek yang dirasakan tidak lama hanya beberapa menit saja namun pemakainya seperti sudah lama tidak sadar terhadap sekelilingnya.
Synthetic cannabinoid merupakan zat sintetis (zat hasil sintesa di laboratorium) yang efeknya memungkinkan pengikatan dengan reseptor cannabinoid yang diketahui, yaitu CB1 atau CB2 pada sel manusia. Reseptor CB1 terletak terutama di otak dan sumsum tulang belakang dan bertanggung jawab atas efek psikoaktif sama halnya seperti ganja, sedangkan reseptor CB2 terletak terutama di limpa dan sel-sel sistem kekebalan tubuh dan dapat memediasi efek kekebalan - modulasi.
Sintetik cannabinoid berbentuk serbuk yang efeknya sama dengan penggunaan ganja karena menempati reseptor di tubuh sama dengan penggunaan ganja. Serbuk synthetic Cannabinoid ini umumnya disemprotkan pada sampel herbal atau bahan lain kemudian dikeringkan dan dikemas menjadi kemasan herbal ataupun rokok.
Sintetik cannabinoid pada mulanya disintesa oleh seorang doktor di bidang kimia organik yang bernama Jhon W. Huffman yang merupakan seorang ahli riset dari universitas Clemson di Amerika. Jhon W. Huffman dan timnya pada tahun 1990-an telah berhasil mensintesa sekitar 20-an jenis sintetik cannabinoid. Latar belakang penelitiannya adalah pencarian terhadap obat-obatan sintetis yang mampu menyembuhkan penyakit multisklerosis, pereda nyeri pada pasien HIV/AIDS maupun pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Ia dan timnya sama sekali tidak menduga hasil risetnya ini ternyata sekarang banyak disalahgunakan sebagai narkoba yang berbahaya bagi pemakainya. Bahkan ia sangat terganggu dengan para pecandunya dan menganggap mereka bodoh secara sembarangan menggunakan zat tersebut.
Hasil risetnya bersama tim juga telah menginisiasi para ahli farmasi di universitas-universitas dan industri farmasi untuk melakukan riset sejenis terhadap zat synthetic cannabinoid ini sehingga banyak bermunculan seri-seri synthetic cannabinoid yang penamaannya bukan hanya dari nama pembuatnya namun juga berasal dari nama universitas yang melakukan riset, industri farmasi bahkan dari nama girl band ataupun nama mesin roket untuk mengidentifikasinya.
Sebagai contoh zat synthetic cannabinoid dengan nama JWH-018, JWH-073, JWH-398, JWH-015, JWH-122, JWH-210, JWH-081, JWH-200, JWH-250, JWH-251 yang merupakan dari singkatan nama pembuatnya yaitu Jhon W. Huffman. Atau juga HU-210 yang merupakan singkatan dari Hebrew University. Kemudian AM-906, AM-411, AM-4030, AM-694 yang merupakan singkatan dari Alexandros Makriyannis. CP-47,CP-497-C8, CP-55, CP-940, CP-55, CP-244 dari Pfizer , WIN-55,212 dari singkatan Sterling Winthrop, RSC-4 singkatan dari research chemical supply, AKB-Fluoro 48 dari girl band terkenal di Jepang, XLR-11 dari nama mesin roket. UNODC sendiri dalam bukunya The Challenge of New Psychoactive Substances telah mempubilkasikan 60 jenis synthetic cannabinoid dan di Indonesia saat ini sudah beredar 8 jenis syntehtic cannabinoid yaitu JWH-018, XLR-11, 5-fluoro AKB 48, MAM-2201, FUB-144, AB-Chminaca, AB-Fubinaca dan CB-13.
Peredaran synthetic cannabinoid di Indonesia umumnya dijual secara ilegal dalam bentuk daun-daunan/sampel herbal yang dikemas dalam kemasan menarik dengan gambar berwarna-warni. Kemunculan pertama kemasan herbal yang mengandung sintetik cannabinoid ini adalah kemasan herbal seperti good shit yang ternyata hasil analisis di laboratorium BNN mengandung zat 5-fluoro AKB 48 dan MAM-2201. Dua zat ini tergolong dalam synthetic cannabinoid yang efeknya dalah halusinogen dan stimulan dan sifak adiksinya sangat kuat sehingga dapat mempercepat adiksi/ketergantungan terhadap zat tersebut.
Daun-daunan dalam kemasan herbal tadi sebenarnya adalah jenis daun-daunan yang tidak berbahaya namun telah disemprotkan zat sintetik cannabinoid di dalamnya sehingga efeknya menjadi efek narkoba bila digunakan. Jenis daun-daunan itu menurut UNODC yang sering digunakan diantaranya adalah Pedicularis densiflora, Nymphacea caerulea, Leonotis leonurus, Leonurus sibiricus, Carnavalia maritima dan Zornia latifolia. Synthetic cannabinoid menurut UNODC berbentuk serbuk kristalin yang berwarna putih, abu-abu bahkan coklat kekuningan. Umumnya larut dalam pelarut organik seperti metanol, etanol, acetonitril, etil asetat dan aseton sehingga setelah larut akan dengan mudah disemprotkan ke dalam bahan lain semisal daun-daunan herbal ataupun tembakau.
Peredaran synthetic cannabinoid ini dalam kemasan sampel herbal warna-warni yang mencolok ketika kemunculannya pertama adalah penjualan melalui internet yang dapat diakses bebas oleh semua kalangan sehingga ketika peredarannya sudah sangat menyebar, produk-produk tersebut banyak yang diawasi sehingga bandar narkoba mulai mencari cara penjualan lainnya yaitu dengan menggantinya menggunakan sampel tembakau. Seperti diketahui bahwa masyarakat Indonesia sangat mengenal tembakau dan dapat digunakan secara bebas. Synthetic cannabinoid yang disemprotkan pada tembakau tidak menarik perhatian kalangan penegak hukum untuk menindaknya dan jumlah perokok di Indonesia cukup besar sehingga pasar inilah yang kemudian dibidik oleh bandar-bandar tersebut. Sehingga kemudian muncullah tembakau merk Gorilla yang ternyata telah disusupi zat synthetic cannabinoid.
Perkembangan synthetic cannabinoid ini saat ini sudah pada generasi ketujuh, diantaranya adalah:
Synthetic cannabinoid ini berdasarkan struktur kimia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya adalah:
Aminoalkylindols yang dibedakan enjadi beberapa jenis diantaranya adalah:
Pada awal Januari 2013, media ramai memberitakan tentang temuan kapsul yang mengandung kristal warna putih yang setelah diperiksa oleh Laboratorium Badan Narkotika Nasional dinyatakan barang bukti tersebut mengandung senyawa methylon yang merupakan senyawa Synthetic Cathinone.
Lalu apa itu Cathinone, Synthetic Cathinone dan senyawa turunan Cathinone?
Cathinone sebenarnya merupakan senyawa alkaloid yang terdapat dalam tanaman khususnya daun khat (Catha edulis). Tanaman khat pertama kali ditemukan di Yaman abad 18 oleh seorang ahli Botani Peter Forskal dan dikenal dibeberapa negara di Afrika dan Semenanjung Arab, Timur tengah dengan kandungan lain selain cathinone yaitu norpseudoephedrine dan cathine. Di Indonesia tanaman khat ini banyak ditemukan di sekitar wilayah Cisarua, Bogor. Daun ini konon dipercaya oleh masyarakat setempat dapat memberikan efek stimulan dan meningkatkan vitalitas. Daun kahat dapat dikonsumsi dengan cara mengunyah langsung daun segar ataupun dikeringkan dan diseduh sebagai teh, oleh karena itu seringkali daun khat dikenal dengan nama “Teh Arab”. Cathinone dapat memberikan efek psikoaktif stimulan dan euforia seperti metamfetamina (sabu).
Sythetic Cathinone merupakan Cathinone sintetis merupakan golongan phenethylamines β-keto dan secara kimia mirip dengan amfetamina dan metamfetamina dan merupakan senyawa sintesis (hasil sintesis di laboratorium) yang peredarannya seringkali dicampur pada garam mandi yang disebut dengan “bath salts” dengan penampakan fisiknya berupa kristal (serbuk) dan seringkali juga dipasarkan dalam bentuk tablet. Synthetic cathinone sebenarnya sudah lama peredarannya yaitu Methcathinone, yang pertama kali disintetis pada tahun 1928 dan merupakan senyawa turunan cathinone yang pertama kali dilaporkan penyalahgunaannya pada awal tahun 1990, kemudian mulai berkembang pada senyawa lain yaitu Mephedrone yang merupakan senyawa synthetic cathinone yang paling banyak disalahgunakan di Eropa. sedangkan MDPV (3,4 methylendioxypyrovalerone) paling banyak disalahgunakan di Amerika Serikat. Methylone (3,4 methylendioxymethcathinone) merupakan senyawa synthetic cathinone yang cukup populer pada tahun 2010 sejak kemunculannya pada tahun 2010 yang secara kimia analog dengan MDMA (ecstasy).
Methylone pertama kali disintesis tahun 1994 oleh seorang chemist Peyton Jacob III dan Alexander Shulgin yang dijual pertama kali dengan nama explosion di tahun 2004 dalam bentuk cairan semprot yang dikemas dalam botol kecil ukuran 5 cm namun sejak tahun 2005 keberadaannya mulai dilarang beredar.
Senyawa synthetic cathinone memberikan efek stimulan seperti narkotika jenis kokain, MDMA (ecstasy) dan metamfetamina (sabu). Pada sistem saraf pusat senyawa synthetic cathinone berikatan langsung dengan reseptor adrenergik yang dapat menginduksi pelepasan neurotransmitter (senyawa yang menghantarkan sinyal di otak) seperti dopamin, norepinefrin, dan serotonin sehingga kadarnya meningkat di otak dan hal inilah yang menimbulkan efek stimulan (perangsang). Senyawa golongan synthetic cathinone selain memberikan efek stimulan juga dapat menyebabkan adiksi yang kuat bagi penggunanya.
Seperti halnya dengan senyawa NPS lainnya, penggunaan senyawa synthetic cathinone juga dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan antara lain pada sistem organ kardiovaskular menyebabkan hipertensi, tachycardia, pada sistem pernafasan menyebabkan sesak atau sulit nafas dan asidosis pada sistem pernafasan. Selain menyerang organ vital, secara psikis efek penggunaan synthetic cathinone dapat menyebabkan panik berlebih, paranoid, gangguan kognitif dan disorientasi ruang dan waktu.
Peredaran synthetic cathinone di Indonesia biasanya ditemui dalam bentuk kristal, bentuk kristal juga ditemui mengandung senyawa ethylon turunan synthetic cathinone lainnya. Selain bentuk kristal, synthetic cathinone juga ditemui dalam bentuk tablet. Sampel tablet yang pernah diuji di Pusat Laboratorium Narkotika BNN diantaranya mengandung senyawa MDPV (3,4 methylendioxypyrovalerone) dimana menurut beberapa peneliti dilaporkan bahwa senyawa MDPV (3,4 methylendioxypyrovalerone) memiliki efek stimulan 10 kali lipat lebih kuat dibandingkan dengan kokain.
Modus terbaru peredaran synthetic cathinone adalah dalam bentuk cairan atau larutan berwarna didalam kemasan botol kecil berlabel yang disebut “Blue Safir”. Hasil analisis sampel tersebut oleh Pusat Laboratorium Narkotika BNN dinyatakan mengandung senyawa 4-chloro-methcathinone atau dikenal dengan nama clephedrone. Senyawa 4-chloro-methcathinone merupakan turunan methcathinone yang memiliki kemiripan sifat dengan metamfetamina (sabu). Di beberapa negara didunia seperti Cina, Jerman, dan Swedia telah mencantumkan senyawa 4-chloro-methcathinone kedalam daftar narkotika didalam regulasi mereka.
Sebanyak 97 jenis senyawa synthetic cathinone telah dilaporkan oleh negara-negara didunia ke UNODC (United Nations Office on Drug and Crime) berdasarkan kasus yang terjadi di tiap negara sampai pada Juli 2015. Sejak awal tahun 2013 hingga sekarang, jenis senyawa synthetic cathinone yang beredar di Indonesia menurut data analisis Pusat Laboratorium Narkotika BNN antara lain methylon, ethylon, mephedron, pentedron, buphedrone, ethyl cathinone, 4-MEC, MDPV (3,4-methylendioxymethcathinone), 4-chloromethcathinone dan MPHP (4'-Methyl-α-pyrrolidinohexiophenone).
Ketamine awalnya bernama CI-581 yang disintesis untuk menggantikan PCP. Ketamin mulai dikenal ketika disintesis pada tahun 1962 oleh ilmuwan Amerika Calvin Stevens di Parke Davis Laboratories. Peredaran ketamin di dunia berkaitan erat dengan senyawa phencyclidine yang dikontrol secara internasional (juga dikenal sebagai PCP atau “angel dust”) yang tercantum dalam Schedule II UN Convention 1971. Phencyclidine diselidiki sebagai anastesi intravena pada tahun 1950 namun kemudian ditarik karena efek halusinogen, delusi dan delirium bahkan psikosis yang tidak diinginkan. Setelah penarikan phencyclidine, ketamine disintesis sebagai anastesi pada tahun 1962, yang dipatenkan pada tahun 1963 di Belgia dan tiga tahun kemudian di Amerika Serikat. Pada awal 1970-an, ketamine dipasarkan sebagai alternatif medis untuk phencyclidine.
Penyalahgunaan penggunaan ketamin sebagai zat psikoaktif seperti kembali ke tahun 1980-an dan 1990-an. Ketamine dan phencyclidine memiliki cara kerja yang serupa , yang mempengaruhi berbagai neurotransmitter pusat. Ketamin sering dijual sebagai ' ekstasi ' di pasar gelap ATS . Nama jalan untuk ketamine termasuk ' K ' , ' K khusus' , ' kit kat ' , ' tac ' , ' tic ' , ' cat valium ' , ' cat transquilizer ' , ' vitamin K ' , ' ket ' , 'super K '. Sediaan farmasi ketamin biasanya ditemukan dalam bentuk cair , tetapi ada juga dalam bentuk serbuk dan kapsul. Serbuk diperoleh dengan menguapkan larutan ketamin yang seringkali dihirup, dihisap dan ditelan.
Ketamine dapat merangsang sistem kardiovaskular, menghasilkan perubahan denyut jantung dan tekanan darah. Dengan demikian, takikardia adalah salah satu gejala yang paling umum yang diidentifikasi dalam pengguna untuk narkoba jenis rekreasi. Temuan neurotoksisitas pada hewan percobaan menunjukkan keprihatinan tentang konsumsi ketamin oleh pengguna narkoba jenis rekreasi. Efek lain yang dilaporkan termasuk kecemasan, perubahan persepsi, adanya penurunan fungsi motorik dan rhabdomyolysis.
Sejarah penggunaan ketamin pertama kali sebagai anestesi bagi hewan yang dipatenkan pada tahun 1963. Pada tahun 1964 pertama kali diujicobakan pada manusia dan ditemukan bahwa ada efek halusinogen meskipun sedikit dan jangka waktu yang relatif singkat. Namun penggunaanya lebih populer pada hewan dibandingkan manusia dengan adanya efek tersebut. Pada tahun 1965, ketamin disalahgunakan sebagai recreational drug sebagai senyawa yang memiliki efek psychedelic drug dan lebih tepatnya efek anestesi yang penyalahgunaannya mengakibatkan adanya perbedaan antara penglihatan dan pendengaran atau lebih tepatnya adalah ilusi dan kemudian menghasilkan keadaan parah yaitu munculnya gejala gangguan jiwa dan menyebabkan schizoprenia dan gangguan psikis.
Antara tahun 1987 dan 2000, terdapat laporan 12 kasus yang fatal di mana ketamin teridentifikasi, namun hanya tiga dari kasus tersebut melibatkan ketamin saja. Penggunaan ketamin kronis telah dilaporkan mengakibatkan disfungsi kognitif. Serbuk ketamin tersebut nantinya akan digunakan untuk campuran dalam tablet ekstasi buatan pabrik tersebut.
Ketamine merupakan zat yang sudah lama berkembang di Indonesia. Sejak tahun 2005 ketamine sudah dijumpai dalam tablet-tablet ekstasi, serbuk dan kristal dan pada tahun 2005 juga berhasil diidentifikasi kiriman ketamin dari china dalam kontainer yang ternyata kriman tersebut mampu menjadi petunjuk adanya temuan pabrik sabu dan ekstasi di Cikande Tangerang. Pada saat itu Ketamine yang ditemukan adalah berupa serbuk sebanyak 290 Kg. Peredaran ketamin di Indonesia saat ini ditemukan sebagian besar dalam bentuk campuran pada tablet-tablet ekstasi yang beredar secara ilegal.
Phencyclidine (PCP) dan ketamin menunjukkan kesamaan struktural dan diklasifikasikan sebagai arylcycloalkylamines. PCP pertama kali disintesis pada tahun 1950 dan dijual sampai tahun 1967 sebagai anastesi suntik di Amerika Serikat di bawah nama dagang Sernyl dan Sernylan. Kemudian ditarik dari pasar karena efek psikologis negatif intens, seperti dysphoria, kebingungan, delirium, dan psikosis.
Senyawa menyerupai PCP muncul untuk pertama kalinya di Eropa sebagai 'bahan kimia penelitian' pada tahun 2010, ketika Inggris melaporkan senyawa 3-methoxyeticyclidine (3-MeOPCE) ke European Early Warning System. Pada tahun 2011, 4-methoxyphencyclidine (4 -MeO-PCP) diidentifikasi di Norwegia, Rusia dan Inggris. Negara anggota PBB melaporkan 4-MEO-PCP yang merupakan senyawa golongan ini yang paling umum.
PCP dan analog phenylcyclohexyl, termasuk eticyclidine (PCE), rolicyclidine (PHP, PCPY), tenocyclidine (TCP) diatur dalam schedule I dari UN convention 1971 tapi turunannya seperti 3-MEO-PCE dan 4-MEO-PCP belum masuk daftar regulasi internasional. 3 - MEO - PCE dan 4 - MEO - PCP sering dijual sebagai bahan kimia penelitian dan biasanya dalam bentuk serbuk .
Senyawa menyerupai Phencyclidine berperan dominan sebagai stimulan sistem saraf pusat, atau dissociatives . Stimulan membantu kerja dopamin, norepinefrin dan / atau serotonin, meniru efek dari narkotika tradisional seperti kokain, amfetamina, metamfetamina dan MDMA. Memberikan efek halusinogen yang memodulasi efek pada N - methyl - D - aspartat (NMDA) reseptor di otak dan menghasilkan perasaan terasing terhadap lingkungannya.
Informasi mengenai analog PCP sangatlah terbatas. Intoksikasi PCP akut menghasilkan pada berbagai efek perilaku/psikologis, dari neurologis ringan dan kelainan fisiologis , pingsan atau koma ringan atau berat. Manifestasi dari perilaku toksisitas menyerupai sindrom kejiwaan. PCP juga telah diklaim menjadi penyebab perilaku kekerasan.
Senyawa NPS dalam golongan ini secara struktur kimia beragam dan tidak masuk ke dalam kategori berdasarkan penggolongan dari UNODC. Senyawa dari kelompok ini memiliki efek farmakologis yang beragam. Diantaranya adalah sintetik opiat.
MT-45
MT-45 (1-cyclohexyl-4-(1,2-diphenylethyl) piperazine, atau nama lainnya I-C6 merupakan senyawa turunan piperazine yang awalnya disintesis pada tahun 1970-an untuk keperluan riset di sebuah perusahaan farmasi Jepang yaitu Dainippon Pharmaceutical Co. Seringkali MT-45 dinyatakan sebagai opioid sintetis walaupun bila dilihat dari struktur kimia MT-45 merupakan senyawa turunan piperazine, namun memberikan efek analgesik seperti morfin (opioid-like symptoms), sehingga termasuk senyawa golongan NPS.
MT-45 biasanya dijual online melalui intenet dalam bentuk serbuk. EMCDDA melakukan penyelidikan via internet, bahwa supplier MT-45 di internet tidak hanya dari Cina namun juga dari negara-negara seperti Inggris, Canada juga India. MT-45 dijual kepada konsumen dengan satu kali transaksi antara 500 mg - 5 kg, di Inggris harga online bervariasi tergantung jumlah pembelian yaitu sekitar 4-70 USD per gram.
MT-45 biasanya dikonsumsi secara oral (ditelan), dihirup maupun injeksi. Dosis oral biasanya dalam rentang 50-250 mg dan menurut pengguna MT-45 senyawa ini memberikan sensasi kepala ringan, hilang kesadaran, seperti efek morfin hanya saja lebih lambat. Efek dirasakan setelah 1-2 jam pemakaian.
Dalam banyak kasus penyalahgunaan MT-45 sebagai NPS, seringkali didapati pengguna menggunakan narkotika/psikotopika jenis lain bahkan alkohol bersama-sama dengan senyawa MT-45. Penggunaan MT-45 yang dikombinasikan dengan golongan benzodiazepine atau senyawa sedatif lainnya dapat meningkatkan resiko toksik akut atau bahkan kematian, terutama karena menekan sistem pernafasan dan juga sistem saraf.
Sampai dengan sekarang Juli 2016, belum ditemukan penyalahgunaan senyawa MT-45 di Indonesia. Tahun 2012 di Jepang diketahui bahwa senyawa MT-45 bersama dengan AH-7921 ditemukan dalam produk herbal “cannabis sintetik”. Di beberapa negara juga, senyawa MT-45 pernah direkomedasikan sebagai substitusi pasien pengguna heroin/morfin karena sama-sama memberikan efek analgesic (pengurang rasa sakit)
Berdasarkan pertemuan tahunan ke-59 Commision on Narcotics Drug (CND) Mar 2016 telah diputuskan bahwa senyawa MT-45 ditambahkan dalam Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961 yaitu pada Schedule I dan telah dikomunikasikan dihadapan UNODC, WHO, dan seluruh institusi narkotika ditiap-tiap negara anggota.
Synthetic phenethylamine merupakan senyawa yang memiliki struktur utama phenyl dan amine atau yang lebih dahulu dikenal adalah golongan ATS (amphetamine type stimulant). Contoh zat ATS yang lebih dahulu berkembang adalah golongan sabu seperti amphetamine dan methamphetamine dan golongan ekstasi seperti MDMA, MDA, MDEA dan lain-lain. Zat ini dalam perkembangannya ternyata banyak menghasilkan variasi produk lainnya dengan tujuan memiliki efek yang sama yaitu stimulan dan halusinogen diantaranya adalah seri 2C seperti 2-CB, 2-CC, kemudian D-seri seperti DOC, DOB dan lain-lain seperti PMMA dan seri NBOMe.
Perkembangan synthetic phenethylamine di dunia pertama kali ketika seorang pharmacologist yang bernama Alexander Theodore “Sasha” Shulgin mulai memperkenalkan MDMA pada klinik terapi psikologis dan melakukan sintesa metode baru untuk MDMA. MDMA sendiri sebenarnya sudah lama disintesa pada tahun 1912, namun belum pernah dilakukan uji coba pada manusia. Sashalah yang pertama kali memeperkenalkan MDMA di klinik-klinik terapi psikologis. Kemudian synthetic phenethylamine ini mulai pesat perkembangannya ketika Sasha melakukan riset tentang phenethylamines dan mempublikasikan bukunya yang bernama PIHKAL (phenethylamine, i have known and i love it) pada tahun 1991, termasuk di dalamnya adalah senyawa 2-C series dan DO-family.
Perkembangan selanjutnya adalah riset phenethylamine mengenai kelompok halusinogen yaitu 2-CB dan DOB yang memiliki kemiripan efek dengan golongan mescaline yaitu senyawa benzodifuranyl yang dikenal dengan FLY (tetrahydrobenzodifuranyl) dan dragonfly (benzodifuranyl aminoalkanes).
Kemudian yang berkembang selanjutnya dalah PMMA yang merupakan perkembangan dari PMA dalam bentuk tablet ekstasi. Kasus PMMA di Indonesia pertama kali trejadi di tahun 2012 yaitu kiriman tablet ekstasi yang diselundupkan dalam container melalui pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan kasus NPS dengan jumlah sitaan paling besar yaitu 1,3 juta butir tablet ekstasi. Tablet ekstasi tersebut memiliki dua kandungan utama yaitu MDMA dan PMMA sehingga penggunaan lebih dari satu senyawa phenethylamine berpotensi mengakibatkan efek ganda halusinogen dan toksisitas yang membahayakan bagi kesehatan tubuh.
Kasus phenethylamine lainnya di Indonesia adalah temuan sampel berbentuk kertas perangko yang bergambar warna-warni pada tahun 2013. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa kandungan kertas tersebut mengandung senyawa NBOMe- series. Selanjutnya adalah temuan kertas yang mengandung DOC yang sering disebut di media sebagai CC4. Penyalahgunaan kertas tersebut berpotensi membahayakan karena dosisnya yang cukup kecil namun sudah mengakibatkan gejala toksisitas.
Golongan phenethylamine selain berefek stimulan dan euphoria, efek lain yang dihasilkan adalah halusinogen. Selain itu efek yang sering dilaporkan adalah kram jantung dan toksisitas yang berlanjut dengan kematian.
Senyawa Piperazine sudah lama dikenal sebagai obat anti antelmintika (anti parasit) yaitu obat anti kecacingan. Pada tahun 1944 senyawa turunan piperazine yaitu Benzyl piperazine (BZP) disintesis. Meskipun dari struktur kimia kedua senyawa tersebut mirip namun efek penggunaan kedua senyawa tersebut berbeda. Senyawa piperazine tidak memiliki sifat sebagai senyawa psikoaktif (merangsang sistem saraf pusat), sedangkan BZP tidak pernah digunakan sebagai obat cacing, sehingga senyawa ini seringkali disalahgunakan karena efek stimulan yang dihasilkan mirip dengan golongan amfetamina. Era tahun 1970-an BZP dikenal sebagai obat antidepresan yang potensial, dan sempat diproduksi dengan merek dagang tertentu, namun produksinya dihentikan karena ternyata memiliki efek yang menyerupai ATS terutama MDMA (ecstasy). Senyawa BZP biasanya merupakan senyawa dalam bentuk serbuk warna putih dan seringkali juga disalahgunakan dalam bentuk tablet.
Tahun 2006, senyawa BZP pertama kali beredar di Indonesia yang dianalisi oleh Laboratorium Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam bentuk tablet warna putih dalam kemasan bertuliskan “Flying star” dan tablet warna merah dalam kemasan bertuliskan “Red Dragon”. Penampakan fisik tablet ini mirip dengan tablet ecstasy pada umumnya, namun 50% lebih tebal. Hasil analisis menyatakan bahwa kedua tablet mengandung senyawa Benzyl Piperazine.
Setahun berikutnya, 2007 Laboratorium Uji dan Penelitian Drug Enforcement Administration (DEA) Virginia, USA juga menerima sampel “Flying Star” dan “Red Dragon” dari Singapura yang konon berasal dari Indonesia. Hasil analisis Laboratorium DEA menunjukkan bahwa pada tablet dalam kemasan “Flying star” mengandung BZP sebanyak 155 mg/tablet dan dalam kemasan “Red Dragon” 68 mg/tablet. Selain itu mengandung juga sejumlah kecil bahan aktif lainnya yang merupakan turunan dari senyawa piperazine lainnya yaitu 1-(3-trifluoromethylphenyl)piperazine atau disebut TFMPP. Pada kemasan tertulis juga kandungan lain dari tablet yaitu mengandung vitamin C dan Asam amino, dan mengklaim dapat meningkatkan energy selama 6-8 jam.
Di Indonesia, produk yang mengandung BZP pernah didaftarkan dengan nama dagang Bliss, Jump, Zoom dan ESP. Produk tersebut disamarkan dalam suplemen makanan yang mengandung herbal "cayenne pepper" atau "pepper extract".
Bliss dan Zoom didaftarkan sebagai suplemen makanan impor dari Selandia Baru. Pada klaim registrasi yang diajukan pihak importir, produk tersebut diklaim membantu meningkatkan metabolisme tubuh dan tidak terdapat informasi mengenai kandungan BZP di dalamnya. Pengujian awal dengan menggunakan pereaksi yang lazim digunakan untuk memeriksa adanya bahan kimia obat pada jamu atau suplemen makanan memberikan hasil negatif, namun pada pengujian dengan menggunakan alat GC/MS (gas-chromatography coupled to mass spectrometry), ternyata Bliss dan Zoom menunjukkan hasil positif mengandung 1-benzylpiperazine (BZP).
Menurut UNODC, BZP paling sering dikombinasikan dengan TFMPP dengan perbandingan komposisi mulai dari 2 : 1 sampai 10 : 1 dimana dapat memberikan efek seperti mengkonsumsi ecstasy (MDMA). BZP bekerja dengan cara merangsang susunan saraf pusat (central nervous system/ CNS stimulant), sedangkan TFMPP memberi efek halusinogen mirip LSD. Kombinasi BZP dan TFMPP bertujuan untuk meningkatkan efek stimulan.
Hal inilah yang membuat BZP pernah menjadi polemik pada beberapa tahun belakangan ini. Berbagai pro dan kontra BZP timbul karena potensi risiko penyalahgunaannya dibandingkan dengan manfaatnya yaitu sebagai alternatif substitusi bagi penyalahguna Amphetamine Type Stimulant (ATS) seperti MDMA (ekstasi) dan Metamfetamina (sabu). Penggunaan BZP secara terus menerus dapat menyebabkan hyperthermia (peningkatan suhu tubuh), kejang dan pingsan, penggumpalan darah di pembuluh darah, hipertensi, peningkatan denyut jantung, gagal ginjal akut, bahkan kematian.
Sampai sekarang senyawa Piperazine yang beredar di Indonesia dan dianalisis oleh Laboratorium BNN antara lain dalam bentuk serbuk dan tablet yang mengandung senyawa BZP, 1-benzyl-4-methylpiperazine (MBZP), TFMPP, dan 1-(3-Chlorophenyl)-4-(3-chloropropyl) piperazine (mCPP), dengan proporsi pada tahun 2015 didominasi oleh sampel mengandung BZP, sedangkan pada tahun 2016 (hingga Juni 2016) didominasi oleh sampel mengandung senyawa MBZP.
KHAT
Tanaman khat sudah lama tumbuh subur di Indonesia yaitu dikawasan dingin cisarua bogor jawa barat. Tanaman Khat ( Catha edulis ) termasuk famili celastraceae yang merupakan tanaman asli Afrika dan Semenanjung Arab. Asal mula tanaman ini dibawa dari Yaman ( Timur Tengah) dan tumbuh subur diladang cisarua sejak tahun 2005. Masyarakat sekitar cisarua menanam tanaman khat dipekarangan rumahnya karena diyakini dapat menjadi obat kuat atau peningkat vitalitas. Selain itu juga ada yang membudidayakannya untuk dijual kepada turis timur tengah yang dengan dengan harga tinggi. Daun khat sangat terkenal sebagai teh arab di Indonesia.
Tanaman ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat setelah kasus methylone tahun 2013 kemudian berlanjut pada temuan ladang tanaman khat. Badan Narkotika Nasional menemukan ladang tanaman khat yang berada di puncak Bogor. Ada 2 lokasi ladang yang ditemukan, pertama berada di pekarangan Villa Ever Green, Tugu Utara, Cisarua, Bogor. Sementara yang kedua berada di area kebun dekat Villa Okem, tidak jauh dari Sungai Desa Ciburial. Kedua lokasi berjarak kurang lebih 1 km. Tipe tanaman khat ada 2 yaitu khat merah dan khat hijau. Berikut adalah gambar daun khat merah dan daun khat hijau :
Kandungan kimia Catha edulis adalah katinon yang merupakan senyawa alkaloid yang merupakan komponen terbesar pada tanaman ini. Struktur dan profil farmakologi senyawa ini mirip dengan amfetamin sintetik. Selain mengandung senyawa bioaktif lainnya seperti tannin, asam askorbat, phenilalkilamin, alkaloid cathine, flavonoid dan triterpenoid.
Mengunyah Khat untuk mendapatkan efek psikoaktif adalah kebiasaan sosial di masyarakat yang tinggal di daerah-daerah ini. Daun khat dikonsumsi segera setelah panen dan daun yang fresh (segar) merupakan tipe daun yang disukai karena pada daun segar kandungan katinona belum terdegradasi menjadi katina yang dapat mengurangi efek psikoaktifnya. Namun daun yang sudah kering ('Graba') juga memungkinkan dikonsumsi. Daun pucuk segarnya sering dikonsumsi baik langsung di kunyah maupun diseduh seperti teh.
Tanaman khat mempunyai beberapa nama. Diluar negeri disebut 'qa' , 'gat' , 'chatting' , ' miraa' , ' murungu ' dan ' Arab atau teh Abyssinian'. Di Indonesia tanaman ini popular dengan sebutan teh arab.
Ketika mengunyah daun khat diperkirakan terjadi penyerapan senyawa aktif yang setara dengan sekitar 5 mg amfetamina. Efek farmakologis yang terjadi antara lain kewaspadaan, euforia, hipertermia, anoreksia, denyut jantung dan tekanan darah. Kematian yang dikaitkan dengan konsumsi tunggal khat belum dilaporkan. Namun, penggunaan jangka panjang dari khat dikaitkan dengan efek samping yaitu gangguan kejiwaan (psikosis depresi), kerusakan organ utama tubuh, serta gangguan neurologis mirip dengan pengguna amfetamina dan kokain.
Kratom
Kratom mempunyai nama latin Mitragyna speciosa. Mitragyna speciosa (dari keluarga Rubiaceae) merupakan pohon besar yang biasa hidup di daerah tropis dan sub - tropis di Asia Tenggara . Di Thailand, pohon yang dikenal sebagai Kratom ditemukan di seluruh area di Thailand tetapi terutama di wilayah selatan, meskipun menanam dan memanen dilarang. Kratom memiliki beberapa sebutan antara lain : ‘thang' , 'kakuam' , ' thom' , 'ketum ' dan 'biak' .
Kratom ditemukan di Indonesia pada tahun 2013 tetapi sudah dalam bentuk serbuk berwarna hijau yang dihasilkan dari tumbuhan kratom atau kratom kering. Laboratorium BNN beberapa kali menerima dan menganalisis sampel serbuk berwarna hijau yang mengandung senyawa mitragynine. Berikut adalah gambar tanaman kratom dan kratom dalam bentuk serbuk warna hijau:
Kratom mengandung banyak alkaloid termasuk mitragynine , mitraphylline , dan 7-hydroxymitragynine. Secara tradisional, kratom telah digunakan di Malaysia dan Thailand oleh buruh dan petani untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga sebagai pengganti opium dan obat tradisional, diduga karena memiliki efek farmakologis seperti morfin.
Pada awal tahun 2000-an, produk berlabel 'kratom asetat' atau 'mitragynine asetat' beredar di Eropa, meskipun ditemukan bahwa tak satu pun dari senyawa tersebut yang mengandung mitragynine. Baru-baru ini, produk yang mengandung kratom telah dijual sebagai 'dupa' untuk efek psikoaktif, tetapi konsentrasi aktif komponen mitragynine dan 7-hydroxymitragynine dalam produk ini berbeda tergantung pada berbagai tanaman yang digunakan, lingkungan dan waktu panen.
Survei internet yang dilakukan oleh EMCDDA pada tahun 2008 dan 2011 mengungkapkan bahwa kratom merupakan salah satu NPS yang paling banyak diperdagangkan. Namun karena kratom sering tidak dipantau dalam survei penyalahgunaan narkoba, maka hanya terdapat sedikit informasi tentang prevalensi penggunaannya.
Cara mengkonsumsi daun kratom biasanya dikunyah dalam bentuk segar ataupun dijadikan serbuk untuk diseduh menjadi teh. Meskipun meningkatnya penggunaan senyawa ini, literatur ilmiah tentang efek dan toksisitas kratom masih sangat langka. Kratom adalah stimulan sistem saraf pusat, yang mengandung lebih dari 40 alkaloid yang telah diisolasi. Dalam dosis rendah dilaporkan memiliki efek stimulan (digunakan untuk memerangi kelelahan selama jam kerja yang panjang), sementara pada dosis tinggi dapat memiliki efek sedatif - narkotika. Pada tahun 1921, alkaloid utama mitragynine pertama kali diisolasi dalam tanaman ini. Mitragynine memiliki aktivitas atletik opioid dan turunannya 7 - hydroxymitragynine ( 7 - OH - mitragynine ) menjadi lebih kuat dari mitragynine atau morfin.
Salvia divinorum
Salvia divinorum (famili mint Lamiaceae) adalah tanaman psikoaktif yang ditemukan di kawasan hutan Oxaca, Meksiko. Tanaman ini secara tradisional digunakan oleh orang Indian Mazatec untuk ritual-ritual keagamaan dan sekaligus untuk tanaman obat walaupun belum ada perijinan Salvia divinorum atau bahan aktif salvinorin A untuk dijadikan obat. Senyawa aktif Salvinorin A (Neoclerodane diterpen) adalah senyawa aktif yang memberikan efek psikoaktif dari tanaman ini. Konsentrasi salvinorin A di daun salvia divinorum bervariasi dan tergantung pada tahap perkembangan tanaman dan jenis persiapannya.
Baik salvia divinorum maupun salvinorin A berada di bawah pengawasan internasional. Namun, karena meningkatnya penggunaan tanaman ini sebagai senyawa NPS, maka tanaman dan senyawa salvinorin A sudah masuk regulasi di beberapa negara.
Tanaman Salvia divinorum tidak tumbuh di Indonesia dan belum pernah ditemukan kasus tentang penyalahgunaan terhadap tanaman ini. Tanaman ini tumbuh di daerah yang beriklim tropis serta didalam hutan yang berkabut namun dapat bertahan hidup pada daerah subtropik yang memiliki 4 musim yaitu Musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Berikut adalah gambar tanaman Salvia divinorum:
Sebutan lain untuk tanaman Salvia divinorum antara lain 'Maria Pastora', 'Sage dari Pelihat', 'Diviner Sage', 'Salvia', 'Sally-D', 'Magic Mint', 'Purple Sticky', 'Shepherdess in Herb'. Salvia divinorum biasanya dijual sebagai bibit atau daun, namuin ekstrak cair konon mengandung salvinorin A (dikenal sebagai ‘the fresh-man selection’ atau 'starter pack'). Namun pernah ditemukan produk mengandung salvia ddaivinorum dengan konten yang berbeda dengan yang tertulis pada label produk. Senyawa lain yang terkandung dalam produk ini antara lain Vitamin E dan kafein. Salvia divinorum dikonsumsi dengan cara mengunyah daun segar atau daun segar ditumbuk dan direndam dengan air kemudian diminum. Namun dilaporkan pengguna menghirup uap ekstrak salvinorin A, atau menghisap daun kering dari tanaman ini. Menghisap daun kering dapat menghasilkan halusinasi singkat namun intens. Penelitian pada hewan menunjukkan tanaman Salvia divinorum memiliki toksisitas rendah. Sejauh ini, belum ada laporan tentang korban jiwa dari penggunaan Salvia divinorum.
Senyawa tryptamine yang lebih dahulu beredar adalah golongan halusinogen yang terdapat pada jenis jamur dan beberapa hewan. Jamur psilosibin merupakan jenis tryptamine dari sumber tanaman yang populer pada tahun 1950-an kemudian selanjutnya berkembang turunan tryptamine yang sintetik diantaranya adalah dimethyltryptamine atau populer dengan nama DMT. Tahun 1997 setelah Alexander Shulgin mempublikasikan bukunya yang berjudul TIHKAL (tryptamine, i have known and i love it) yang mempublikasikan senyawa tryptamine, perkembangannya semakin pesat sehingga saat ini banyak jenis yang berkembang diantaranya 5-MeO DMT, 5-MeO-DPT, AMT, 4-AcO-DMT dan 4-AcODiPT, etryptamine dan DET.
Perkembangan NPS jenis tryptamine di Indonesia yaitu dalam campuran tablet ekstasi yaitu alpha methyltryptamine dan 5-MeO-MIPT dan untuk alpha methyltryptamine umumnya terdapat pada tablet ekstasi yang mengandung methylone.
Efek yang dilaporkan terhadap penggunaan jenis ini adalah efek halusinogen dan toksisitas yang berakhir dengan kematian.
Jl. HR Edi Sukma KM 21, Desa Watesjaya, Cigombong, Bogor 16110, Jawa Barat, Indonesia | |
+62-8217-1992-313, +62-8128-4283-814 | |
drugslaboratory@bnn.go.id |